Minggu, 21 Desember 2014

Tak Ada Yang Sempurna

Tak ada yang sempurna.
Sungguh tak ada satupun kecuali Dia.
Meskipun yang selalu terlihat indah.
meskipun yang selalu terlihat memesona.
Purnama misalnya,
Kilauan sinarnya hanya pantulan dari cahaya lain.
cahaya matahari..
Jika kau ingin menjadi sempurna.
Usahamu hanya akan sia-sia.
karna sekali lagi, kesempurnaan hanya milikNya.
Sungguh tak perlu kita menjadi sempurna.
Jika ingin terlihat indah,
Cukup menjadi seperti purnama.
Pantulkan cahaya dari matahari kita.
Cahaya orang lain..

Sabtu, 29 November 2014

Sajak: Jangan terburu-buru

Jangan terburu-buru hanya karena yang lain sudah lebih dulu, bisa jadi mereka memang lebih siap daripada kita.

Jangan terburu-buru hanya karena ingin memperoleh sesuatu, bisa jadi apa yang kita dapatkan tidak sesuai haparan.

Jangan terburu-buru hanya karena ingin segera sampai tujuan, bisa jadi setelah sampai kita malah bingung dengan yang harus dilakukan.

Dan jangan terburu-buru hanya karena kita merasa kesepian, bisa jadi yang terbaik masih disimpan Tuhan.

Jumat, 19 September 2014

Cerpen: Hujan Turun Lagi

Hujan Turun Lagi

Hujan turun lagi. Hujan pertama tahun ini, hujan yang sama seperti tahun lalu, hujan yang telah menyelamatkanku, hujan yang memadamkan api yang disulut orang-orang jahat itu. Hari ini, hari yang sama, tanggal yang sama, bulan yang sama tepat satu tahun selepas kejadian menyedihkan itu.
Namaku adalah Nayla, nama yang indah bukan?
Nama yang berarti cahaya.
Nama yang diberikan kedua orang tua ku atas harapan besar mereka.

            Satu bulan sebelum kejadian  itu.
"Hujan turun ayah, Nayla takut".
Ayah tersenyum mendengar ku berkata seperti itu.
"jangan takut Nayla, kemarilah!".
Perlahan aku melangkah menghampiri ayah.
"Nayla, hujan itu tidak jahat, meskipun datang dengan badai sekalipun. Karena hujan akan selalu membawa sesuatu yang indah"
"sesuatu yang indah? Apa itu ayah?"
"Besok Nayla akan tahu, sekarang Nayla harus tidur".

"Hujan turun lagi ayah, Nayla takut"
"Tunggulah Nayla, tunggu sampai hujannya reda"
Siang itu matahari tengah bersiap merangkak ke barat, dan hujan telah reda. Ayah mengajakku pergi ke Dermaga. Sesuatu yang indah telah aku lihat disana, namanya adalah Pelangi. Sesuatu pertama yang sangat menakjubkan yang pernah aku lihat. Cahaya itu, cahaya warna-warni yang berpadu dengan pesona senja.
"Itu apa ayah?
"Itu namanya pelangi"
"Apakah itu sesuatu yang indah yang dibawa oleh hujan?"
"Ya Nayla, itulah sesuatu yang indah yang dibawa oleh hujan"
"Ayah?"
"Ya Nayla"
"Sekarang Nayla tidak takut dengan hujan"
Ayah hanya tersenyum, lantas mengajakku pulang. Di tengah sisa-sisa pesona senja, dengan langkah beriring menuju rumah, kami menyanyikan lagu yang pernah diajarkan ibu kepadaku. Lagu itu berjudul Pelangi-pelangi. Tentu kalian sudah tau dengan lagu itu, bukankah kalian juga pernah menyanyikannya.
Hari itu ayah mengajariku untuk tidak takut pada hujan, ayah tidak berbohong tentang hujan. Bahwa hujan tidak jahat, meskipun datang dengan badai sekalipun. Karena hujan selalu membawa sesuatu yang indah, pelangi misalnya.
Sejak saat itu aku selalu berharap agar hujan turun lagi, agar aku bisa melihat sesuatu yang indah yang dibawa oleh hujan.
"Hujan turun lagi, ayah"
Ayah mengerti maksudku, aku ingin ayah menemaniku melihat sesuatu yang indah yang dibawa oleh hujan, setelah reda nanti.

Ayah selalu menemani aku, ayah selalu ada waktu untuk itu. Lalu bagaimana dengan Ibu?, ibu yang telah mengajariku bernyanyi?. Satu hal yang selalu membuatku kesal adalah ibu sering larut dalam pekerjaannya, ibu tak pernah menemaniku, ibu tak pernah ada waktu untuk menemaniku melihat sesuatu yang indah yang dibawa oleh hujan.
"Ibu?"
"Iya sayang, ada apa?"
"Hujan turun lagi"
"Iya, hujan memang selalu turun".
Bahkan ibu tak mengerti apa maksudku.
"Besok, maukah ibu menemaniku melihat sesuatu yang indah yang dibawa oleh hujan?"
"Sesuatu yang indah? Apa itu?"
Ibu juga tak tau tentang pelangi yang sering aku lihat bersama ayah.
"Besok ibu akan tahu, sekarang Nayla mau tidur"
"Maaf sayang, besok ibu harus kerja".
Ya, itulah ibu. Ibu tak pernah ada waktu. "maukah ibu menemaniku?", kalimat permintaan yang telah sering aku ucapkan, hingga kalimat itu mungkin sudah benar-benar tak berarti di telinga ibu.

Hujan turun lagi. Hujan pertama tahun ini, hujan yang sama seperti tahun lalu, hujan yang telah menyelamatkanku, hujan yang memadamkan api yang disulut orang-orang jahat itu. Hari ini, hari yang sama, tanggal yang sama, bulan yang sama tepat satu tahun selepas kejadian menyedihkan ituSaat itu ibu sedang pergi ke luar kota, tentu kalian sudah tau, apa lagi kalau bukan untuk bekerja.
Hujan turun lagi. Seperti biasa setelah hujan reda, aku dan ayah pergi ke Dermaga. Langit tampak kosong, awan pekat pembawa hujan tadi entah pergi kemana. Pelangi? tak ada pelangi, entah apa yang direncanakan langit. Kami terus menuggu hingga matahari lindap ke telapak kaki langit.

Malam begitu terang, rembulan dengan sempurna menampakkan wajahnya. Satu dua bintang berlindung di bawah cahayanya. Nyanyian kunang-kunang terdengar begitu lantang. Entah kenapa aku merasa gelisah hingga tak dapat memejamkan mata. Perlahan terdengar gemuruh petir bersautan, awan-awan pekat yang tadi menghilang mulai berdatangan menyembunyikan cahaya sang rembulan. Kini langit malam begitu gelap, satu dua bintang telah menghilang, nyanyian kunang-kunang pun samar-samar mulai lenyap, dan aku merasa semakin gelisah.
"Hei, siapa kalian!!"
Terdengar suara teriakan ayah, aku pun bergegas keluar dari kamar. Seketika langkahku terhenti pada turunan anak tangga pertama. Ya Tuhan siapa mereka?, siapa dua orang berpakaian serba hitam itu?, apa yang mereka lakukan?. Aku melihat mereka membekap dan menyeret ayah masuk ke kamar. Tak lama, terdengar suara yang mengejutkanku. Bukan, bukan suara petir, itu adalah suara tembakan yang berasal dari kamar ayah. Kaki ku bergetar, air mata ku bercucuran bak hujan di luar sana.

Kedua orang itu keluar dengan membawa tas yang biasa dibawa ayah, lalu nenyiramkan cairan ke beberapa perabotan rumah, aku tahu itu adalah bensin yang sebelumnya ada di garasi rumah. Salah seorang dari mereka menyalakan api sambil tertawa, mereka membakar rumah dan bergegas pergi.

Tak ada yang bisa aku lakukan dengan kaki dan tubuh kecil ini. Aku berlari ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat, lantas bersembunyi dalam tumpukan selimut. Hanya mendengar suara petir dan tetes air hujan yang menghantam atap.

Entah berapa lama, hingga aku mendengar suara orang-orang yang berteriak tentang kebakaran. Tapi apa yang bisa mereka lakukan, api sudah padam, hujanlah yang memadamkan api, hujan telah menyelamatkanku. Tapi sayang, hujan tak bisa menyelamatkan ayah.


Hujan turun lagi. Hari ini, hari yang sama, tanggal yang sama, bulan yang sama tepat satu tahun selepas kejadian menyedihkan itu. Dan aku percaya bahwa ayah akan datang bersama hujan dengan membawa sesuatu yang indah.
"Hujan turun lagi, Ibu"
"Ya Nayla"
"Maukah ibu menemaniku?"
"Kemana?"
"Tunggu ibu, tunggu sampai hujannya reda"
Hari ini ibu yang menemani aku, untuk pertama kalinya aku dan ibu pergi ke Dermaga untuk melihat sesuatu yang indah yang dibawa oleh hujan dan ayah tentunya.
"Ibu lihat!!"
"Itukah sesuatu yang indah yang di bawa oleh hujan, Nayla?"
"Ya ibu, itulah sesuatu yang indah yang dibawa oleh hujan, dan Ayah"
"Maafkan ibu Nayla, mulai sekarang ibu akan selalu menemanimu"

Ayah benar, ayah tidak berbohong tentang hujan. Bahwa hujan tidak jahat, meskipun datang dengan badai sekalipun. Karena hujan selalu membawa sesuatu yang indah.
Terima kasih ayah, terima kasih hujan.


***