Belakangan kotaku suka
sekali pada hujan. Membuat banyak genangan dan tak membiarkannya menghilang.
Hujan datang seperti ribuan panah yang ditembakkan dalam waktu bersamaan, dan
berulang-ulang. Hujan di kotaku seperti tidak ada habisnya, padahal setiap
butir hujan yang jatuh membutuhkan waktu lama bahkan bertahun-tahun untuk bisa
kembali ke langit dan menjadi hujan lagi. Butir hujan yang jatuh, terlebih dahulu
harus mengalir melalui celah-celah kecil menuju samudera kemudian menguap dan
tersusun menjadi awan pekat yang berbeda dari sebelumnya.
Hujan bisa datang
berkali-kali, namun tetap saja ia akan jatuh sebagai butiran-butiran kecil.
Meski dengan sekuat tenaga ia berusaha menjadi seperti air terjun, angin akan
menghempaskannya menjadi butiran. Seperti itulah hujan yang mengisi sore ini di
kotaku.
Dari dalam sebuah kedai
kopi, aku merapatkan badan pada dinding kaca yang menghadap ke jalan raya.
Setiap butir hujan yang jatuh membiaskan lampu jalan dan sorot kendaraan. Pelan
tanganku menyentuh dinding kaca yang berembun. Dingin menjalar dari ujung jari,
mengalir melalui telapak tangan ke pergelangan, menerobos siku dan pundak,
kemudian tiba di hati. Hujan mampu menyejukkan hati.
Seperti biasa, aku senang
berada di tempat ini. Dengan ditemani secangkir Java Arabica dan hujan, berharap bisa menuliskan beberapa kalimat
pada catatan kecil yang kubawa serta untuk mengisi daftar cerita pada bukuku
nanti.
* * *
Seorang perempuan muda
baru saja keluar dari toko buku. Terlihat susah payah menghindari percikan air
dari trotoar, sesekali berjingkat melompati genangan-genangan kecil yang bisa
merendam sepatunya. Kemeja dan rok panjang yang ia kenakan sepertinya
menyulitkannya dalam bergerak. Tas
terangkat di atas kepala untuk melindunginya dari siraman air, meski atap-atap
sudah berusaha menahannya. Lengan kanan mendekap benda dalam bungkusan kantong
plastik, buku yang baru ia beli sepertinya.
Hujan bagaikan makhluk
yang paling tidak bersahabat saat ini. Dengan angkuhnya datang dan membasahi.
Angin dingin menghempaskan setiap butir hujan, dan langkah kaki perempuan itu
semakin mendekat kemari. Mungkin ia akan mampir ke tempat ini, untuk berteduh
dari hujan atau sekedar menikmati penghangat ruangan.
* * *
“Permisi, boleh saya
duduk di sini?”
Aku terperanjat dan
mencoba memahami situasi.
“Tentu saja. Kursi ini
kosong.” Jawabku.
Ternyata perempuan itu
benar-benar mampir ke tempat ini. Dan mungkin sial baginya karena tidak ada
kursi kosong yang tersisa selain di depan kursi yang kutempati.
Dengan tenangnya dia
duduk di depanku, merapikan baju yang dibuat lusuh karena menghindari hujan di
luar tadi. Dan sepertinya dia tidak peduli dengan keberadaanku.
* * *
Para pelayan sedang
sibuk dengan menu pesanan. Tak berapa lama, seorang pelayan menghampiri
menghantarkan secangkir kopi. “Cinnamon Coffee, silahkan
dinikmati.” Katanya, kemudian meninggalkan kami.
Aku menyesap kopiku, Java Arabica murni yang kupesan tadi.
Sedikit sekali, pahit sekali. Tentu saja aku tidak mungkin terus diam
berjam-jam dengan seorang perempuan yang duduk di depanku. Aku memikirkan
sebuah kalimat.
“Tidak biasanya seorang
perempuan suka minum kopi?!” Kataku mencoba mencairkan suasana saling diam
kami.
Perempuan itu terlihat
bingung. Mungkin kalimat yang barusan kuucapkan terdengar seperti pernyataan
daripada pertanyaan. Dan dengan sedikit ragu, kemudian dijawabnya.
“Sebenarnya aku tidak
suka kopi. Anggap saja kopi ini sebagai tiket masuk karena tempatnya kugunakan
untuk berteduh.”
Kalimat itu tidak bisa
kuteruskan dengan pertanyaan lagi. Hanya anggukan mengiyakan. Sepertinya
obrolan ini tidak akan berjalan dengan baik. Kemudian kami kembali saling diam.
Jeda berapa saat.
“Kenapa laki-laki suka
sekali pada kopi?” Dia balik bertanya.
Aku tersenyum. Obrolan
ini mungkin bisa dilanjutkan.
“Aku tidak tahu.
Bukankah setiap orang memiliki alasannya sendiri untuk sesuatu yang mereka
sukai?” Jawabku.
“Kamu?” Tanyanya lagi.
“Bagiku kopi adalah
puisi cinta yang paling sederhana. Lebih sederhana dari puisinya Sapardi.”
Jawabku sambil menunjuk buku yang terbungkus kantong plastik yang dia letakkan
di meja. Samar-samar aku bisa membaca judul buku itu. Hujan Bulan Juni. Siapa
lagi kalau bukan bukunya Sapardi Djoko Damono, pikirku. Buku yang juga aku
sudah berjanji akan membelinya tepat di hari ulang tahunku nanti, sebagai
hadiah untuk diriku sendiri.
Perempuan itu
mengalihkan pandangannya pada buku yang aku tunjuk. Buku itulah yang sedari
tadi didekapnya agar tidak basah oleh air hujan.
“Dalam puisinya yang
‘Aku Ingin’, sudah jelas dia mengatakan ingin mencintai dengan sederhana. Tapi
dia mengibaratkannya, dengan
kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Sama sekali tidak sederhana.” Jelasku, sambil meenggelengkan kepala.
“Dengan kalimat yang tak sempat
disampaikan awan kepada hujan yang
menjadikannya tiada. Ya,
tidak
ada yang sederhana dari kalimat-kalimat itu.” Timpalnya. Sepertinya dia hafal benar dengan puisi yang satu ini.
Kami berdua saling
tersenyum-tertawa tertahan. kemudian
mengambil jeda lebih lama untuk menikmati kopi masing-masing. Sementara hujan
di luar sana sepertinya sudah mulai mereda.
“Tidak buruk juga...
Kopi ini manis.” Katanya dengan senyum yang lebih manis, setelah beberapa kali menyesap kopi.
“Cinnamon memang manis, karena dari awal sudah diberi gula dan kayu
manis sebagai ciri khasnya.” Kataku, memberi tahu.
Perempuan itu hanya
mengangguk saja, dengan ekspresi selayaknya orang yang baru mengetahui sesuatu.
Hujan di luar sana
benar-benar sudah reda. Perempuan itu mulai mengemas barang-barangnya.
Sepertinya obrolan ini akan segera berakhir.
“Terima kasih sudah
menemani minum kopi. Oh iya, satu lagi. Cinta memang sederhana. Tapi untuk mendeskripsikannya
tidak cukup hanya dengan kalimat-kalimat sederhana, karena dia begitu
istimewa.”
Perempuan itu tersenyum dan beranjak dari kursi. Melangkah pergi. Aku memerhatikannya
hingga dia menghilang di balik pintu yang sudah terbuka.
Astaga.
Aku bahkan tidak
menanyakan siapa namanya. Bodoh sekali. Tapi sudahlah, mungkin Tuhan punya
rencana lain. Aku hanya berharap semoga besok hujan bisa menahannya lebih lama.
_________________________________________
Pict from: pujiekalestari.wordpress.com