Sabtu, 25 Juni 2016

Aku Bukan Majnun


Berapa banyak kisah yang sudah kaudengar atau kaubaca tentang keterpisahan, tentang cinta yang tak pernah tersatukan?

Romeo-Juliet, Cleopatra-Antony atau Siti Nurbaya yang banyak orang berpendapat bahwa kisah mereka begitu memilukan. Menurutku kisah mereka terlalu sederhana. Apa sulitnya bunuh diri? Di mana rumitnya perjodohan?

Atau kisah cinta Zainuddin-Hayati dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karangan Hamka. Di mana keduanya sudah bersepakat namun karena berbeda adat, salah di antaranya harus berhianat. Lantas siapa yang harus disalahkan?

Yang pasti bukan jarak.

Ada beberapa kisah cinta yang takluk oleh jarak. jarak tidak melulu soal ruang dan waktu. Bisa juga tentang dinding tinggi yang membatasi hati.

Analogi klasik tentang matahari yang mencintai bumi dengan jarak, bagiku itu hanya pembenaran atas teori ketakberdayaan dalam mencintai. Kata Azhar Nurun Ala; Apa yang bisa diharapkan, dari cinta yang bahkan oleh himpitan jarak saja jadi tak berdaya?

Entahlah apa matahari benar-benar mencintai bumi. Sebab jika memang demikian, dengan abadinya keterjarakan di antara mereka seharusnya telah redup bara yang ia miliki-tergenang air mata sendiri.

Jika matahari benar-benar mencintai bumi, seharusnya majnun-lah ia. Seperti kisah cinta dari negeri padang pasir. Qais yang cintanya tak pernah tersatukan lantas ia menjadi majnun (gila), kemudian berkelana bersama air mata, berkawan dengan binatang dan kata-kata, bersembunyi dalam ruang hampa yang menyiksa, sampai akhirnya mati dengan begitu sepi.

Aku bukan majnun.

Lantas apa artinya cinta?
Menurut Anis Matta cinta adalah memberi.
Menurut Dewi Lestari cinta adalah interaksi.
Aku lebih bersepakat bahwa cinta adalah memberi. Kata Anis Matta lagi; ketika cinta ditolak, yang ada hanyalah kesempatan memberi yang lewat.
Dan, dengan ini aku ingin menyampaikan pesan melalui jarak: Kamu harus bahagia, meski tidak denganku. Namun kamu juga harus tahu, aku benci mengatakan ini.

Jumat, 10 Juni 2016

Hujan, Kopi dan Puisi


Belakangan kotaku suka sekali pada hujan. Membuat banyak genangan dan tak membiarkannya menghilang. Hujan datang seperti ribuan panah yang ditembakkan dalam waktu bersamaan, dan berulang-ulang. Hujan di kotaku seperti tidak ada habisnya, padahal setiap butir hujan yang jatuh membutuhkan waktu lama bahkan bertahun-tahun untuk bisa kembali ke langit dan menjadi hujan lagi. Butir hujan yang jatuh, terlebih dahulu harus mengalir melalui celah-celah kecil menuju samudera kemudian menguap dan tersusun menjadi awan pekat yang berbeda dari sebelumnya.
Hujan bisa datang berkali-kali, namun tetap saja ia akan jatuh sebagai butiran-butiran kecil. Meski dengan sekuat tenaga ia berusaha menjadi seperti air terjun, angin akan menghempaskannya menjadi butiran. Seperti itulah hujan yang mengisi sore ini di kotaku.
Dari dalam sebuah kedai kopi, aku merapatkan badan pada dinding kaca yang menghadap ke jalan raya. Setiap butir hujan yang jatuh membiaskan lampu jalan dan sorot kendaraan. Pelan tanganku menyentuh dinding kaca yang berembun. Dingin menjalar dari ujung jari, mengalir melalui telapak tangan ke pergelangan, menerobos siku dan pundak, kemudian tiba di hati. Hujan mampu menyejukkan hati.
Seperti biasa, aku senang berada di tempat ini. Dengan ditemani secangkir Java Arabica dan hujan, berharap bisa menuliskan beberapa kalimat pada catatan kecil yang kubawa serta untuk mengisi daftar cerita pada bukuku nanti.
* * *
Seorang perempuan muda baru saja keluar dari toko buku. Terlihat susah payah menghindari percikan air dari trotoar, sesekali berjingkat melompati genangan-genangan kecil yang bisa merendam sepatunya. Kemeja dan rok panjang yang ia kenakan sepertinya menyulitkannya dalam bergerak.  Tas terangkat di atas kepala untuk melindunginya dari siraman air, meski atap-atap sudah berusaha menahannya. Lengan kanan mendekap benda dalam bungkusan kantong plastik, buku yang baru ia beli sepertinya.
Hujan bagaikan makhluk yang paling tidak bersahabat saat ini. Dengan angkuhnya datang dan membasahi. Angin dingin menghempaskan setiap butir hujan, dan langkah kaki perempuan itu semakin mendekat kemari. Mungkin ia akan mampir ke tempat ini, untuk berteduh dari hujan atau sekedar menikmati penghangat ruangan.
* * *
“Permisi, boleh saya duduk di sini?”
Aku terperanjat dan mencoba memahami situasi.
“Tentu saja. Kursi ini kosong.” Jawabku.
Ternyata perempuan itu benar-benar mampir ke tempat ini. Dan mungkin sial baginya karena tidak ada kursi kosong yang tersisa selain di depan kursi yang kutempati.
Dengan tenangnya dia duduk di depanku, merapikan baju yang dibuat lusuh karena menghindari hujan di luar tadi. Dan sepertinya dia tidak peduli dengan keberadaanku.
* * *
Para pelayan sedang sibuk dengan menu pesanan. Tak berapa lama, seorang pelayan menghampiri menghantarkan secangkir kopi. “Cinnamon Coffee, silahkan dinikmati.” Katanya, kemudian meninggalkan kami.
Aku menyesap kopiku, Java Arabica murni yang kupesan tadi. Sedikit sekali, pahit sekali. Tentu saja aku tidak mungkin terus diam berjam-jam dengan seorang perempuan yang duduk di depanku. Aku memikirkan sebuah kalimat.
“Tidak biasanya seorang perempuan suka minum kopi?!” Kataku mencoba mencairkan suasana saling diam kami.
Perempuan itu terlihat bingung. Mungkin kalimat yang barusan kuucapkan terdengar seperti pernyataan daripada pertanyaan. Dan dengan sedikit ragu, kemudian dijawabnya.
“Sebenarnya aku tidak suka kopi. Anggap saja kopi ini sebagai tiket masuk karena tempatnya kugunakan untuk berteduh.”
Kalimat itu tidak bisa kuteruskan dengan pertanyaan lagi. Hanya anggukan mengiyakan. Sepertinya obrolan ini tidak akan berjalan dengan baik. Kemudian kami kembali saling diam.
Jeda berapa saat.
“Kenapa laki-laki suka sekali pada kopi?” Dia balik bertanya.
Aku tersenyum. Obrolan ini mungkin bisa dilanjutkan.
“Aku tidak tahu. Bukankah setiap orang memiliki alasannya sendiri untuk sesuatu yang mereka sukai?” Jawabku.
“Kamu?” Tanyanya lagi.
“Bagiku kopi adalah puisi cinta yang paling sederhana. Lebih sederhana dari puisinya Sapardi.” Jawabku sambil menunjuk buku yang terbungkus kantong plastik yang dia letakkan di meja. Samar-samar aku bisa membaca judul buku itu. Hujan Bulan Juni. Siapa lagi kalau bukan bukunya Sapardi Djoko Damono, pikirku. Buku yang juga aku sudah berjanji akan membelinya tepat di hari ulang tahunku nanti, sebagai hadiah untuk diriku sendiri.
Perempuan itu mengalihkan pandangannya pada buku yang aku tunjuk. Buku itulah yang sedari tadi didekapnya agar tidak basah oleh air hujan.
“Dalam puisinya yang ‘Aku Ingin’, sudah jelas dia mengatakan ingin mencintai dengan sederhana. Tapi dia mengibaratkannya, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Sama sekali tidak sederhana.” Jelasku, sambil meenggelengkan kepala.
Dengan kalimat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Ya, tidak ada yang sederhana dari kalimat-kalimat itu.” Timpalnya. Sepertinya dia hafal benar dengan puisi yang satu ini.
Kami berdua saling tersenyum-tertawa tertahan. kemudian mengambil jeda lebih lama untuk menikmati kopi masing-masing. Sementara hujan di luar sana sepertinya sudah mulai mereda.
“Tidak buruk juga... Kopi ini manis.” Katanya dengan senyum yang lebih manis, setelah beberapa kali menyesap kopi.
Cinnamon memang manis, karena dari awal sudah diberi gula dan kayu manis sebagai ciri khasnya.” Kataku, memberi tahu.
Perempuan itu hanya mengangguk saja, dengan ekspresi selayaknya orang yang baru mengetahui sesuatu.
Hujan di luar sana benar-benar sudah reda. Perempuan itu mulai mengemas barang-barangnya. Sepertinya obrolan ini akan segera berakhir.
“Terima kasih sudah menemani minum kopi. Oh iya, satu lagi. Cinta memang sederhana. Tapi untuk mendeskripsikannya tidak cukup hanya dengan kalimat-kalimat sederhana, karena dia begitu istimewa.”
Perempuan itu tersenyum dan beranjak dari kursi. Melangkah pergi. Aku memerhatikannya hingga dia menghilang di balik pintu yang sudah terbuka.
Astaga.
Aku bahkan tidak menanyakan siapa namanya. Bodoh sekali. Tapi sudahlah, mungkin Tuhan punya rencana lain. Aku hanya berharap semoga besok hujan bisa menahannya lebih lama.

_________________________________________
Pict from: pujiekalestari.wordpress.com