Selasa, 20 Januari 2015

Sajak: Hujan Kenangan*

Hujan dan kenangan
Satu hal yang selalu dirindukan
Karena hujan tak selalu air
Bisa juga ia berupa rindu
Maka saat hujan adalah kenangan
Tak ada lagi rindu yang ingin ditemui

Hujan dan kenangan
Maka saat hujan adalah kenangan
Nyanyian masa lalu akan terdengar lagi
Bunyi-bunyi seolah menari
Pahit dan manis tersesap kembali

Hujan dan kenangan
Satu hal yang tak terpisahkan
Karena hujan adalah kenangan itu sendiri


* Dimuat di Jawa Pos - Radar Malang, 15 Februari 2015.

Senin, 12 Januari 2015

Cerpen: Pertemuan dan Perpisahan, Disaksikan Kunang-Kunang

Tempias hujan yang mengembun di jendela, memaksa ku menggurat sebuah nama. Pagi ini aku terbangun dengan sisa-sisa hujan semalam, sisa-sisa nyanyian hujan yang masih terngiang dalam ingatan. Sebagian orang percaya bahwa hujan bisa bernyanyi, nyanyian yang hanya bisa didengar oleh orang-orang yang merasakan kerinduan, nyanyian yang mampu meresonasi ingatan kembali ke masa lalu. Entah mengapa semalam kudengar nyanyian itu - mungkin aku rindu, nyanyian itu seakan menghantarkanku menyusuri lorong waktu yang telah lalu.
Pagi ini akan aku kisahkan sebuah cerita, bukan tentang hujan tapi tentang “kunang-kunang” – aku selalu suka nama dengan satu kata yang diulang, kupu-kupu misalnya. Sebenarnya cerita ini aku dengar dari seorang tua. Terlebih dahulu akan ku perkenalkan siapa dia, seperti pepatah yang mengatakan “sebelum kau bercerita, perkenalkanlah dirimu atau mereka tidak akan menganggapmu”. Orang tua itu adalah seorang pengelana dengan kisah penuh cinta di hidupnya. Terakhir kali aku bertanya kepadanya “mbah, apakah mbah kakung masih sering jatuh cinta?”. Pertanyaan itulah yang akan memulai kisah ini.
Senja – aku melangkah dari buritan dengan membawa secangkir kopi menuju ke pekarangan tempat mbah kakung memandangi bola merah yang tengah bersiap pulang. Di senja itulah kisahnya diceritakan. “Apa kau bercanda nak? Angin apa yang membuatmu bertanya seperti itu? Tentu saja aku masih sering jatuh cinta, bahkan setiap hari aku jatuh cinta. Aku selalu jatuh cinta pada sang pencipta, setidaknya juga pada fajar, dan senja, yang semakin hari semakin besar pula. Seperti cinta suami kepada sang istri, ayah kepada anak, dan kakek kepada cucunya”. Sambil terkekeh dia ngacak rambutku.
Satu hal yang tak ku mengerti, jika cintanya semakin hari semakin besar, maka dulu sepeninggal mbah putri kenapa mbah kakung tidak terlihat sedih laiknya kebanyakan orang yang ditinggal pergi oleh orang yang paling dikasihinya. Lantas pertanyaan keduaku muncul. “Seberapa besar cinta mbah kakung kepada mbah putri? Kenapa waktu mbah putri meninggal, mbah kakung tidak terlihat sesedih orang-orang kebanyakan yang telah kehilangan?”.
Lengang sejenak, hembusan angin sore menggerakkan daun-daun di pepohonan, satu dua daun kering terlepas dari tangkainya, jatuh perlahan seperti ikhlas menerima kematian. Tubuh renta itu menyesap kopi yang mulai dingin ditiup angin – demi melihatku yang terdiam dan dan tak yakin akan mendapat jawaban, setelah berdeham akhirnya jawaban itu diutarakan.
“Seberapa besar aku mencintai mbah putri?” mengulang pertanyaanku.
“Bagaimana aku harus menjelaskannya, gunung pun tak bisa menjadi ukuran. Melukiskannya bahkan setiap kata lumpuh kehilangan makna. Yang ku tahu; seperti fajar - sejuknya, seperti senja – hangatnya, seperti lautan – dalamnya, seperti semesta - luasnya”.
Mbah kakung memang orang yang puitis, dan dengan mbah putri mereka adalah pasangan yang sangat romantis. Tapi jawaban itu justru membuatku semakin tak mengerti, kenapa waktu itu mbah kakung tak sesedih laiknya orang-orang yang kehilangan.
“Agar kau mengerti nak, akan ku ceritakan potongan-potongan perjalanan kami”.
“1960 kami dipertemukan oleh Tuhan saat menyaksikan sekumpulan kunang-kunang yang menghiasi malam, kunang-kunang yang bahkan cahayanya membuat bintang pun malu sehingga samar bersembunyi diballik tumpukan awan.”
“Sungguh, Tuhan yang membuat cerita dan menciptakan takdir. Kita hanya sebagai hamba yang memerankan dan tak perlu merubah alurnya. Setahun kemudian 27 Desember 1961 kami dipersatukan dalam ikatan suci sebagaimana telah diwajibkan bagi orang yang mampu dan khawatir akan berbuat zina”.
“Jangan kau kira perjalanan setelah itu akan terus baik-baik saja. Ada kalanya saat kami terjungkal pada titik terendah suatu hubungan. Tapi dengan kesabaran kami bisa melewati itu semua. Bisa dibilang sedih – bahagia, susah – senang, pahit – manis, getir – asam adalah warna yang menghiasi perjalanan kami”.
“Dari setiap perjalanan kami nak, ada sebuah kesamaan akan kekaguman. Yaitu pada kunang-kunang, ia adalah serangga yang diciptakan dengan desain khusus, dilengkapi dengan sistem yang menakjubkan. Kunang-kunang mempunyai organ tubuh yang dapat memancarkan cahaya berpendar. Dan melalui kunang-kunang pula kami dipertemukan. Namun sayang, usianya hanya sekitar dua bulan. Maka kami tak pernah membawanya pulang, memasukkannya kedalam toples dan menghiasi kamar kami dengan cahayanya - meskipun itu sangat bisa aku lakukan. Sebagai gantinya kami melukisnya pada dinding kamar dan memasang lampu serupa cahayanya”.
“Satu tahun yang lalu, tepatnya satu minggu sebelum mbah putri-mu pergi.....”
Kalimatnya tiba-tiba terhenti. Mbah kakung menghela napas panjang. Dalam waktu yang bersamaan pula bola merah bundar yang sedari tadi menggantung diatas kaki langit akhirnya bersiap meluncur tenggelam. Semburat jingga bercampur dengan lampu-lampu kota yang telah dinyalakan, memberi kesan yang memesonakan sejauh mata memandang. 47 detik yang menakjubkan, matahari dengan sempurna telah tenggelam. Perlahan ku dengar ucapnya “Alhamdulillah”. Kemudian disesapnya lagi kopi yang kali ini sudah benar-benar dingin. Saat itu aku baru mengerti mengapa mbah kakung setiap hari jatuh cinta pada senja, bukan hanya karena pesonanya, tapi lebih ke rasa syukur akan waktu seharian yang masih diberikan Tuhan pada nya.
Tanpa diminta, kalimat yang tadi terhenti dilanjutkannya kembali.
“Satu minggu sebelum mbah putri-mu pergi, untuk pertama kalinya hal itu aku lakukan, memasukkan kunang-kunang kedalam toples dan menghiasi kamar kami dengan cahayanya. Pada malam terakhirnya, kalimat yang masih kuingat sampai saat ini adalah;
Terima kasih atas segalanya, malam ini biarkan aku mencintai mu dengan seluruh cahayaku sebelum kematian datang menjemputku. – tak berapa lama kemudian dua kalimat syahadat mengalun lembut dari bibirnya”.
“Pejam terakhir mbah putri-mu pun disaksikan kunang-kunang dari dalam toples”
“Nak, aku tahu kematian itu akan terjadi. Entah aku yang dipanggil terlebih dahulu atau mbah putri-mu, aku sudah bersiap akan hal itu. Sungguh, Tuhan pula yang menghidupkan dan yang mematikan. Sekali lagi, kita hanya pemeran dari cerita yang telah dibuat-Nya. Ketika aku tidak menghujat pertemuan mengapa pula aku harus bersedih karena perpisahan?. Tanggung jawabku untuk membahagiakan mbah putri-mu telah usai, begitupun tanggung jawabnya kepadaku”.
Sejenak hati ini termagu mendengar kalimat-kalimat itu, seluruh pertanyaanku telah dijawabnya hingga tak menyisakan tanya yang berkepanjangan.
Kumandang takbir menggema, mengalir bersama angin yang menelusup sela-sela dedaunan, pepohonan rindang dan gedung-gedung perkotaan. Azan magrib. Tanda berakhir pula kisah yang diceritakannya. Untuk terakhir kali kopi itu disesapnya lagi sebelum tubuh renta itu beranjak dari kursi.
Malam tadi, ditengah gemercik hujan dan diantara nyanyiannya, menyusup seekor kunang-kunang. Mungkin hendak berteduh atau sekedar menemaniku mendengar nyanyian hujan. Yang pasti ia mengingatkanku akan pertemuan dan perpisahan mbah kakung dan mbah putri yang disaksikan kunang-kunang.
**
Untuk menutup cerita ini kuharap kalian tahu siapa pemilik nama yang aku ukir di jendela pagi ini.

***