Kecantikan
seseorang bisa terlihat meski hanya melalui tulisan.
Namanya Jingga, nama
yang serupa nama warna. Aku bertemu dengannya beberapa tahun silam saat mengunjungi
pameran dan pelelangan lukisan yang diadakan mahasiswa fakultas Seni dan
Budaya. Pameran itu diadakan untuk menggalang dana yang ditujukan pada korban
bencana alam yang waktu itu kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Jingga adalah seorang
pelukis dan pengagum senja. Betapa tidak jika semua lukisannya adalah tentang
senja.
“kenapa semua yang di
sini adalah lukisan senja? Apa mungkin pelukisnya menyukai warna orange?”
tanyaku pada seorang perempuan yang juga memandangi lukisan itu.
“Jingga. Warnanya
jingga, bukan orange. Dan aku adalah pelukisnya.” Jawab perempuan itu. “Namaku
Jingga” tambahnya, sambil menatapku.
Itulah pertama kali aku
bertemu Jingga.
Jingga memperkenalkanku
pada senja, bahwa senja selalu memesona, bahwa senja mempunyai rahasia-rahasia
kecil di dalamnya. Dan terakhir, dia membuatku jatuh cinta pada senja.
Senja memang selalu bepergian,
namun ia pasti akan kembali untuk menunaikan janjinya pada bumi. Sampai tiba
suatu saat, waktunya Jingga yang harus pergi. Dan entah dia akan kembali atau
tidak.
Hari ini kukirim surat
untuknya.
Untuk
Jingga,
Bagaimana kabarmu? Kuharap kau baik-baik
saja dan akan selalu baik-baik saja. Akhir-akhir ini kau jarang menghubungiku,
kemana saja kau pergi? Bahkan seluler-mu juga sulit dihubungi. Aku baru ingat
kalau pernah menyimpan alamatmu, dan langsung saja kuputuskan untuk mengirimimu
surat. Ya, kau boleh menertawaiku karena di zaman teknologi canggih dan
internet seperti saat ini, aku malah mengirim surat lewat Pos. Tapi jangan
salah, terkadang cara lama bisa lebih diandalkan ketimbang mengirimimu email
yang belum tentu kau ada waktu untuk membuka komputermu. Bukankah kau memang
seperti itu? Apalagi saat sudah asik dengan alat lukis dan senja yang menjadi
kesukaanmu.
Ada yang ingin kuceritakan padamu. Sebenarnya
ada seorang perempuan yang ingin kudatangi, seorang perempuan yang aku
benar-benar ingin meminangnya untuk kujadikan pendamping hidupku. Tapi apakah dia akan
senang? entahlah. Yang kutahu saat bersamanya, dia merasa terusik dengan
kehadiranku, namun tetap saja kami berlama-lama bicara. Mungkin dia hanya
sekedar menghargaiku perasaanku.
Aku tidak akan memberi tahumu siapa namanya,
aku ingin kau berkenalan langsung dengannya, menjabat tangannya dan saling
menyebutkan nama. Ya, nanti akan kuajak dia menemuimu. Itu pun jika aku
mendapat kesempatan darinya.
Untuk saat ini tidak ada yang bisa
kuceritakan tentangnya, tentang seberapa baiknya dia, tentang seberapa
cantiknya dia. Jika kuberi tahu namanya dan kau cari di media sosial, kau hanya
akan menemukan sebuah nama, tidak ada satupun foto dirinya yang terpajang di
album, karena dia benar-benar orang yang pandai menjaga diri. Tapi jika kau
baca tulisan-tulisanya, aku yakin kau akan tahu seberapa cantiknya dia.
Tadinya surat ini kutujukan untuk
menyapamu, tapi malah aku membuatmu membaca ceritaku. Untuk memastikan kau tidak
lupa denganku, balaslah surat ini meski hanya dengan sebuah kalimat yang
mengandung makna “aku baik-baik saja”. Dan jika tidak keberatan, lampirkan
selembar lukisan senja di tempatmu.
Tertanda,
Teman baikmu.
Kotabaru, 01 Agustus 2015