Minggu, 29 November 2015

Ikhlas Itu

Ikhlas itu..
Seperti bebatuan karang.
Tak pernah teriak, meskipun raganya habis terkikis ombak.

Ikhlas itu..
Seperti berjalan di atas pasir.
Suaranya tak terdengar, tetapi jejaknya jelas tergambar.

Ikhlas itu..
Seperti kabut pagi.
Menyentuh dengan lembut, meski akhirnya terbunuh oleh mentari.

Ikhlas itu..
Seperti embun di tepian daun.
Tetap setia dengan sejuknya, meskipun masa menghancurkan tubuhnya.

Ikhlas itu..
Seperti butiran air hujan.
Tak pernah tahu akan terjatuh di mana, tetapi setiap tetesnya menghidupi.

Ikhlas itu..
Seperti cahaya senja.
Setiap hari berusaha menyapa, meski tak jarang awan menghalau sinarnya.

Ikhlas itu..
Seperti kamu yang memilih bertahan.
Memperjuangkan impianmu, meskipun orang-orang perlahan mulai pergi meninggalkanmu.

Malang, 29 November 2015

Minggu, 08 November 2015

Cerpen: Surat Untuk Jingga

Kecantikan seseorang bisa terlihat meski hanya melalui tulisan.
Namanya Jingga, nama yang serupa nama warna. Aku bertemu dengannya beberapa tahun silam saat mengunjungi pameran dan pelelangan lukisan yang diadakan mahasiswa fakultas Seni dan Budaya. Pameran itu diadakan untuk menggalang dana yang ditujukan pada korban bencana alam yang waktu itu kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Jingga adalah seorang pelukis dan pengagum senja. Betapa tidak jika semua lukisannya adalah tentang senja.
“kenapa semua yang di sini adalah lukisan senja? Apa mungkin pelukisnya menyukai warna orange?” tanyaku pada seorang perempuan yang juga memandangi lukisan itu.
“Jingga. Warnanya jingga, bukan orange. Dan aku adalah pelukisnya.” Jawab perempuan itu. “Namaku Jingga” tambahnya, sambil menatapku.
Itulah pertama kali aku bertemu Jingga.
Jingga memperkenalkanku pada senja, bahwa senja selalu memesona, bahwa senja mempunyai rahasia-rahasia kecil di dalamnya. Dan terakhir, dia membuatku jatuh cinta pada senja.
Senja memang selalu bepergian, namun ia pasti akan kembali untuk menunaikan janjinya pada bumi. Sampai tiba suatu saat, waktunya Jingga yang harus pergi. Dan entah dia akan kembali atau tidak.
Hari ini kukirim surat untuknya.

Untuk Jingga,
Bagaimana kabarmu? Kuharap kau baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja. Akhir-akhir ini kau jarang menghubungiku, kemana saja kau pergi? Bahkan seluler-mu juga sulit dihubungi. Aku baru ingat kalau pernah menyimpan alamatmu, dan langsung saja kuputuskan untuk mengirimimu surat. Ya, kau boleh menertawaiku karena di zaman teknologi canggih dan internet seperti saat ini, aku malah mengirim surat lewat Pos. Tapi jangan salah, terkadang cara lama bisa lebih diandalkan ketimbang mengirimimu email yang belum tentu kau ada waktu untuk membuka komputermu. Bukankah kau memang seperti itu? Apalagi saat sudah asik dengan alat lukis dan senja yang menjadi kesukaanmu.
Ada yang ingin kuceritakan padamu. Sebenarnya ada seorang perempuan yang ingin kudatangi, seorang perempuan yang aku benar-benar ingin meminangnya untuk kujadikan pendamping hidupku. Tapi apakah dia akan senang? entahlah. Yang kutahu saat bersamanya, dia merasa terusik dengan kehadiranku, namun tetap saja kami berlama-lama bicara. Mungkin dia hanya sekedar menghargaiku perasaanku.
Aku tidak akan memberi tahumu siapa namanya, aku ingin kau berkenalan langsung dengannya, menjabat tangannya dan saling menyebutkan nama. Ya, nanti akan kuajak dia menemuimu. Itu pun jika aku mendapat kesempatan darinya.
Untuk saat ini tidak ada yang bisa kuceritakan tentangnya, tentang seberapa baiknya dia, tentang seberapa cantiknya dia. Jika kuberi tahu namanya dan kau cari di media sosial, kau hanya akan menemukan sebuah nama, tidak ada satupun foto dirinya yang terpajang di album, karena dia benar-benar orang yang pandai menjaga diri. Tapi jika kau baca tulisan-tulisanya, aku yakin kau akan tahu seberapa cantiknya dia.
Tadinya surat ini kutujukan untuk menyapamu, tapi malah aku membuatmu membaca ceritaku. Untuk memastikan kau tidak lupa denganku, balaslah surat ini meski hanya dengan sebuah kalimat yang mengandung makna “aku baik-baik saja”. Dan jika tidak keberatan, lampirkan selembar lukisan senja di tempatmu.

Tertanda,
Teman baikmu.



Kotabaru, 01 Agustus 2015

Minggu, 28 Juni 2015

Mendo'akanmu

Tuhan pun harus dirayu-rayu.
Karena hakikatnya, Tuhan suka akan sanjungan, dan keindahan.
Termasuk keindahan kata-kata.
Meskipun dalam do'a, yang utama adalah ketulusan hati.
Bukan kefasihan lidah.
Namun untuk setiap do'aku, lidahku terlanjur fasih melafalkan.
Menyebut nama-Nya, dan juga namamu.
Meski demikian, bukan berarti aku tidak tulus mendo'akan.
Hanya saja, do'a itu terlalu sering kuulang.
Hingga telah menjadi kebiasaan.

Mendo'akanmu.
Kini sudah menjadi kebiasaan.
Kau tahu betapa sulitnya mengubah kebiasaan bukan?
Itulah sebabnya, melepaskanmu juga akan sulit untuk dilakukan.
Do'aku bukan sekedar tentang kebahagiaanmu.
Atau keselamatanmu.
Melainkan, tentang pengabulan dari setiap do'a baikmu.

Senin, 08 Juni 2015

Kembali Pada Senja


Kau tahu betul bagaimana cara menyakiti.
Dan hanya mereka yang pernah terluka, yang mampu menyakiti dengan cara sedemikian.
Aku akan berhenti.
Berhenti memuarakan harapan.
Berhenti menjadi hujan.
Aku ingin kembali menjelma senja.
Dari awal aku memang lebih suka senja.
Senja yang menyongsong gelap.
Gelap yang bukan malam.
Sampai saat nanti ketika aku bisa menjadi cahaya baru, aku akan menyapamu.

Kita pernah berada dalam hujan yang sama.
Tapi mungkin kau sudah lupa.
Atau bahkan sengaja kau lupakan.
Aku pun juga ingin melupakannya.
Menyimpannya dalam sebuah kotak, dan menutupnya rapat-rapat.
Sebenarnya hujan itu telah lama aku beri mana, "Hujan Kenangan".
Dan benar saja, ia akan tetap menjadi kenangan.

Aku ingin bercerita denganmu.
Bukan lagi tentang hujan.
Melainkan tentang senja.
Aku ingin memperkenalkannya padamu.
Tapi sepertinya kita sudah tidak punya waktu.
Kecuali, jika kau benar-benar ingin mendengar ceritaku.
Senja selalu mempunyai rahasia dibalik pesonanya.
Aku beri tahu kau satu rahasia kecil tentang senja.
Bahwa sebelum pergi, ia selalu menoleh ke arahku.
Dan pesan yang tersampaikan, ia pasti akan kembali untukku.

Selasa, 21 April 2015

Sajak: Tentang Hujan

Tentang Hujan 1
Jangan pernah berkata; "aku suka hujan".
Tapi kau selalu menghindar saat hujan mendatangimu.
Rasa suka tidak seperti itu.

Dan jangan pernah berkata; "aku selalu jatuh cinta pada hujan".
Tapi kau sering merasa kesal saat hujan membasahimu.
Rasa cinta tidak seperti itu.

Tentang Hujan 2
Hanya hujan yang pandai menyimpan rasa.
Entah itu sedih, kecewa, ataupun bahagia,
Hanya dituangkan dalam satu warna.
Warna hujan.
Siapa sangka saat kita tersenyum bahagia karena hujan, saat itu warna hujan adalah kesedihan?

Tentang Hujan 3
Hujan tidak akan pernah datang dari tumpukan awan yang sama.
Saat ia jatuh di tempat lain, maka ia tidak akan pernah jatuh di tempatmu.
Tapi percayalah bahwa hujan lain sedang mempersiapkan dirinya, dan akan membasahi harapanmu.

Senin, 06 April 2015

Menyuarakan Kecemasan

Cemas..
Aku sedang cemas. Aku tak tahu kemana aku akan pergi. Aku juga tak tahu kemana aku harus pulang. Aku tak tahu apa yang bisa aku lakukan. Aku juga tak tahu apa yang harus aku lakukan.

Cemas..
Aku sedang cemas. Aku merasa rindu. Tapi aku tak tahu apa atau siapa yang aku rindukan. Aku tak tahu apa yang aku cari. Aku juga tak tahu siapa yang ingin aku temui.

Cemas..
Aku sedang cemas. Aku hanya tahu satu hal. Aku merasa sepi. Kemana aku harus mengadukan? Kemana aku harus menyuarakan kecemasanku, kecuali kepada Mu?

Tuhan, aku cemas..

Jumat, 13 Maret 2015

Cerpen: Kotak Waktu

Pernah berpikir bisa mengendalikan waktu? Mengatur-atur waktu sekehendak hatimu. Bisa pergi ke masa lalu maupun masa depan. Menunda dan mengubah kejadian. Memperbaiki ataupun memperburuk keadaan. Aku juga pernah berpikir seperti itu, ketika temanku berkata "Kau tahu hal yang paling berharga itu apa?. Detik yang baru saja lewat."

Aku merasa tertikam dengan kalimat itu.

"Aku ingin punya kotak waktu"
"Maksudmu?"
"Aku ingin mengembalikan waktu!"
"Kenapa?"
"Aku baru saja melukai perasaan seseorang" 

Temanku itu tersenyum, diam. Aku tahu dia sedang memikirkan sesuatu, mungkin mencari kalimat yang tepat untuk dikatakan. Untuk menjelaskan.

"Jika aku punya benda yang kau sebut kotak waktu itu, dengan senang hati aku akan memberikannya padamu. Tapi apa kau bisa janji tidak akan menyakiti lagi? Tidak akan melukai?"

Lanjutnya.
"Kurasa tidak, karena kau akan lebih suka menggunakan kotak waktu itu untuk setiap urusanmu. Kau akan terus menyakiti. Maka biarlah waktu berjalan dengan semestinya. Kesalahan adalah manusiawi. Tapi kita bisa belajar dari kesalahan itu, untuk lebih berhati-hati, lebih menghargai, agar tidak menyakiti lagi."

Jelasnya.

Rabu, 11 Maret 2015

Maret

Langit maret terlihat muram
Butir-butir hujan masih berjatuhan
Menjelma rindu
Menjelma harapan

Pohon-pohon menggigil kedinginan
Daun-daun gugur dihantam hujan
Berharap tak tumbang
Berharap tak mati dalam penantian

Maret masih hujan, kata pepohonan;
Kapan musim semi datang?
Aku rindu pelukan
Pelukan yang menghangatkan

Maret masih hujan, jawabku pelan;
Kau masih harus menunggu
Aku juga menunggu
Menunggu siap memeluk harapanmu


Malang, 01 Maret 2015

Sabtu, 21 Februari 2015

Analogi

"Saya menyukai sesuatu karena apa yang dia punya; bukan apa adanya."

Sebagian orang mungkin mengernyitkan dahi, bergumam, menghujat, bahkan memaki ketika mendengar pernyataan seperti itu.
Dan bukankah sebagian orang memang suka melakukan itu?
Berkata; "itu buruk!" - tanpa mau memahami apa maksudnya.
Berkata; "itu tidak baik!" - tanpa mau melihat apa tujuannya.

Ingat pepatah lama; Jangan menilai buku dari sampulnya.

Sebelum menjelaskan, saya tegaskan sekali lagi "Saya menyukai sesuatu karena apa yang dia punya; bukan apa adanya."

Seperti;
Saya suka kupu-kupu, karena sayap rapuhnya.
Sayap rapuh itu bagi saya ibarat "harga diri".
Ia akan terlihat indah dan cantik saat terbang bebas, saat ia bisa menjaga sayapnya.
Karena cantik adalah ia yang bisa menjaga dirinya.
Namun karena sayap itu rapuh, sekali saja ia tersentuh (oleh yang bukan semestinya) maka ia akan kehilangan kecantikannya.

Seperti juga;
Saya suka bunga mawar, karena durinya.
Duri itu adalah pelindung untuk kecantikannya.
Alangkah malangnya ia jika duri itu tidak ada, karena akan banyak yang tanpa ragu berebut ingin memiliki, lantas membuang setelahnya.
Namun jika duri itu ada, bisa saja kita akan tergores atau tertusuk saat hendak memetiknya.
Sampai saat kita benar-benar telah siap dan yakin untuk menggenggamnya, melindunginya, dan membiarkan ia tetap tumbuh dengan setiap tetes darah kita.

Kamis, 12 Februari 2015

Katanya, Tentang Yang Hilang

Katanya, sesuatu yang hilang itu mempunyai caranya sendiri untuk kembali.
Meskipun dengan cara-cara yang tidak pernah kita duga.
Nyatanya, banyak yang hilang dan tidak pernah kembali.
Menunggu?
Tunggu saja!!
Itu sih kata hati, coba dipikir lagi..

Dan katanya, jika memang merpati terbaik pasti akan pulang kembali.
Pertanyaannya, masih adakah tempat untuk merpati itu?
Lagi-lagi soal hati..

Jika kamu memang benar-benar yakin bahwa yang hilang akan kembali, masih adakah sisa untuk meyakini bahwa Tuhan telah menyiapkan pengganti?

Yang harus kau tahu, Tuhan tidak pernah mengambil sesuatu yang baik dari kita.
Kecuali untuk digantikan dengan yang lebih baik.
Dan itu adalah janji yang tak pernah diingkari.

Selasa, 03 Februari 2015

21

"Alhamdulillahi rabbil alamin".
Terima kasih masih Kau bangunkan aku.

Pagi ini aku memandang cermin lebih lama dari biasanya. Menyelidik sesosok bayangan yang ada di dalamnya, kemudian berkata padanya; "lihatlah, betapa dirimu terlihat semakin tua sekarang". Seketika bayangan itu mengamati dirinya, mengacak-acak rambutnya, menepuk-nepuk pipinya, kemudian mengangguk pelan seolah membenarkan perkataanku.

Ku biarkan ia merapikan dirinya sebelum aku mulai berkata lagi padanya;
"kau tahu berapa usiamu sekarang? 21 tahun. Dan apa yang sudah kau lakukan selama 20 tahun ini? Bagaimana kau memanfaatkan 2.700 hari yang telah Tuhan berikan padamu?"
"Tidak kah kau sadar, telah banyak kelalaian dalam perbuatanmu. Telah sering kau abaikan perintah Tuhan mu. Kau sakiti orang-orang yang menyayangi mu, keluarga mu, teman-teman mu, sahabat mu. Tidak kah kau sadar akan semua hal itu? Dan yang paling menyedihkan, bahkan kau sering tak peduli dengan dirimu. Dirimu sendiri!. Lihatlah rambutmu, tak bisakah kau merapikannya? Bagaimana mungkin orang yang selalu kau sebut namanya dalam doa akan sudi menerima mu?"
"Ku harap kau bisa merenunginya dan mulai memikirkan masa depan mu!"

Bayangan dalam cermin itu hanya diam dan mengangguk meng-Iya-kan setiap perkataanku, sebelum akhirnya ia lah yang membuatku terdiam lebih lama dengan berkata;

"Kau memang benar, tapi bukankah aku juga adalah dirimu?"

Selasa, 20 Januari 2015

Sajak: Hujan Kenangan*

Hujan dan kenangan
Satu hal yang selalu dirindukan
Karena hujan tak selalu air
Bisa juga ia berupa rindu
Maka saat hujan adalah kenangan
Tak ada lagi rindu yang ingin ditemui

Hujan dan kenangan
Maka saat hujan adalah kenangan
Nyanyian masa lalu akan terdengar lagi
Bunyi-bunyi seolah menari
Pahit dan manis tersesap kembali

Hujan dan kenangan
Satu hal yang tak terpisahkan
Karena hujan adalah kenangan itu sendiri


* Dimuat di Jawa Pos - Radar Malang, 15 Februari 2015.

Senin, 12 Januari 2015

Cerpen: Pertemuan dan Perpisahan, Disaksikan Kunang-Kunang

Tempias hujan yang mengembun di jendela, memaksa ku menggurat sebuah nama. Pagi ini aku terbangun dengan sisa-sisa hujan semalam, sisa-sisa nyanyian hujan yang masih terngiang dalam ingatan. Sebagian orang percaya bahwa hujan bisa bernyanyi, nyanyian yang hanya bisa didengar oleh orang-orang yang merasakan kerinduan, nyanyian yang mampu meresonasi ingatan kembali ke masa lalu. Entah mengapa semalam kudengar nyanyian itu - mungkin aku rindu, nyanyian itu seakan menghantarkanku menyusuri lorong waktu yang telah lalu.
Pagi ini akan aku kisahkan sebuah cerita, bukan tentang hujan tapi tentang “kunang-kunang” – aku selalu suka nama dengan satu kata yang diulang, kupu-kupu misalnya. Sebenarnya cerita ini aku dengar dari seorang tua. Terlebih dahulu akan ku perkenalkan siapa dia, seperti pepatah yang mengatakan “sebelum kau bercerita, perkenalkanlah dirimu atau mereka tidak akan menganggapmu”. Orang tua itu adalah seorang pengelana dengan kisah penuh cinta di hidupnya. Terakhir kali aku bertanya kepadanya “mbah, apakah mbah kakung masih sering jatuh cinta?”. Pertanyaan itulah yang akan memulai kisah ini.
Senja – aku melangkah dari buritan dengan membawa secangkir kopi menuju ke pekarangan tempat mbah kakung memandangi bola merah yang tengah bersiap pulang. Di senja itulah kisahnya diceritakan. “Apa kau bercanda nak? Angin apa yang membuatmu bertanya seperti itu? Tentu saja aku masih sering jatuh cinta, bahkan setiap hari aku jatuh cinta. Aku selalu jatuh cinta pada sang pencipta, setidaknya juga pada fajar, dan senja, yang semakin hari semakin besar pula. Seperti cinta suami kepada sang istri, ayah kepada anak, dan kakek kepada cucunya”. Sambil terkekeh dia ngacak rambutku.
Satu hal yang tak ku mengerti, jika cintanya semakin hari semakin besar, maka dulu sepeninggal mbah putri kenapa mbah kakung tidak terlihat sedih laiknya kebanyakan orang yang ditinggal pergi oleh orang yang paling dikasihinya. Lantas pertanyaan keduaku muncul. “Seberapa besar cinta mbah kakung kepada mbah putri? Kenapa waktu mbah putri meninggal, mbah kakung tidak terlihat sesedih orang-orang kebanyakan yang telah kehilangan?”.
Lengang sejenak, hembusan angin sore menggerakkan daun-daun di pepohonan, satu dua daun kering terlepas dari tangkainya, jatuh perlahan seperti ikhlas menerima kematian. Tubuh renta itu menyesap kopi yang mulai dingin ditiup angin – demi melihatku yang terdiam dan dan tak yakin akan mendapat jawaban, setelah berdeham akhirnya jawaban itu diutarakan.
“Seberapa besar aku mencintai mbah putri?” mengulang pertanyaanku.
“Bagaimana aku harus menjelaskannya, gunung pun tak bisa menjadi ukuran. Melukiskannya bahkan setiap kata lumpuh kehilangan makna. Yang ku tahu; seperti fajar - sejuknya, seperti senja – hangatnya, seperti lautan – dalamnya, seperti semesta - luasnya”.
Mbah kakung memang orang yang puitis, dan dengan mbah putri mereka adalah pasangan yang sangat romantis. Tapi jawaban itu justru membuatku semakin tak mengerti, kenapa waktu itu mbah kakung tak sesedih laiknya orang-orang yang kehilangan.
“Agar kau mengerti nak, akan ku ceritakan potongan-potongan perjalanan kami”.
“1960 kami dipertemukan oleh Tuhan saat menyaksikan sekumpulan kunang-kunang yang menghiasi malam, kunang-kunang yang bahkan cahayanya membuat bintang pun malu sehingga samar bersembunyi diballik tumpukan awan.”
“Sungguh, Tuhan yang membuat cerita dan menciptakan takdir. Kita hanya sebagai hamba yang memerankan dan tak perlu merubah alurnya. Setahun kemudian 27 Desember 1961 kami dipersatukan dalam ikatan suci sebagaimana telah diwajibkan bagi orang yang mampu dan khawatir akan berbuat zina”.
“Jangan kau kira perjalanan setelah itu akan terus baik-baik saja. Ada kalanya saat kami terjungkal pada titik terendah suatu hubungan. Tapi dengan kesabaran kami bisa melewati itu semua. Bisa dibilang sedih – bahagia, susah – senang, pahit – manis, getir – asam adalah warna yang menghiasi perjalanan kami”.
“Dari setiap perjalanan kami nak, ada sebuah kesamaan akan kekaguman. Yaitu pada kunang-kunang, ia adalah serangga yang diciptakan dengan desain khusus, dilengkapi dengan sistem yang menakjubkan. Kunang-kunang mempunyai organ tubuh yang dapat memancarkan cahaya berpendar. Dan melalui kunang-kunang pula kami dipertemukan. Namun sayang, usianya hanya sekitar dua bulan. Maka kami tak pernah membawanya pulang, memasukkannya kedalam toples dan menghiasi kamar kami dengan cahayanya - meskipun itu sangat bisa aku lakukan. Sebagai gantinya kami melukisnya pada dinding kamar dan memasang lampu serupa cahayanya”.
“Satu tahun yang lalu, tepatnya satu minggu sebelum mbah putri-mu pergi.....”
Kalimatnya tiba-tiba terhenti. Mbah kakung menghela napas panjang. Dalam waktu yang bersamaan pula bola merah bundar yang sedari tadi menggantung diatas kaki langit akhirnya bersiap meluncur tenggelam. Semburat jingga bercampur dengan lampu-lampu kota yang telah dinyalakan, memberi kesan yang memesonakan sejauh mata memandang. 47 detik yang menakjubkan, matahari dengan sempurna telah tenggelam. Perlahan ku dengar ucapnya “Alhamdulillah”. Kemudian disesapnya lagi kopi yang kali ini sudah benar-benar dingin. Saat itu aku baru mengerti mengapa mbah kakung setiap hari jatuh cinta pada senja, bukan hanya karena pesonanya, tapi lebih ke rasa syukur akan waktu seharian yang masih diberikan Tuhan pada nya.
Tanpa diminta, kalimat yang tadi terhenti dilanjutkannya kembali.
“Satu minggu sebelum mbah putri-mu pergi, untuk pertama kalinya hal itu aku lakukan, memasukkan kunang-kunang kedalam toples dan menghiasi kamar kami dengan cahayanya. Pada malam terakhirnya, kalimat yang masih kuingat sampai saat ini adalah;
Terima kasih atas segalanya, malam ini biarkan aku mencintai mu dengan seluruh cahayaku sebelum kematian datang menjemputku. – tak berapa lama kemudian dua kalimat syahadat mengalun lembut dari bibirnya”.
“Pejam terakhir mbah putri-mu pun disaksikan kunang-kunang dari dalam toples”
“Nak, aku tahu kematian itu akan terjadi. Entah aku yang dipanggil terlebih dahulu atau mbah putri-mu, aku sudah bersiap akan hal itu. Sungguh, Tuhan pula yang menghidupkan dan yang mematikan. Sekali lagi, kita hanya pemeran dari cerita yang telah dibuat-Nya. Ketika aku tidak menghujat pertemuan mengapa pula aku harus bersedih karena perpisahan?. Tanggung jawabku untuk membahagiakan mbah putri-mu telah usai, begitupun tanggung jawabnya kepadaku”.
Sejenak hati ini termagu mendengar kalimat-kalimat itu, seluruh pertanyaanku telah dijawabnya hingga tak menyisakan tanya yang berkepanjangan.
Kumandang takbir menggema, mengalir bersama angin yang menelusup sela-sela dedaunan, pepohonan rindang dan gedung-gedung perkotaan. Azan magrib. Tanda berakhir pula kisah yang diceritakannya. Untuk terakhir kali kopi itu disesapnya lagi sebelum tubuh renta itu beranjak dari kursi.
Malam tadi, ditengah gemercik hujan dan diantara nyanyiannya, menyusup seekor kunang-kunang. Mungkin hendak berteduh atau sekedar menemaniku mendengar nyanyian hujan. Yang pasti ia mengingatkanku akan pertemuan dan perpisahan mbah kakung dan mbah putri yang disaksikan kunang-kunang.
**
Untuk menutup cerita ini kuharap kalian tahu siapa pemilik nama yang aku ukir di jendela pagi ini.

***